iSports.id – Seperti yang sudah dibahas pada bagian pertama tulisan ini mengenai Third Owner Party (TPO). Di mana TPO berawal dari dari kebeutuhan klub yang tinggi namun tidak ditunjang dengan kemampuan finansial yang baik. Maka, pihak ketiga inilah yang akan muncul dan mendapatkan saham sang pemain.
Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya kita mengenal lebih dahulu tentang hak komesial dan hak federatif. Sejauh mana terapannya dalam bisnis sepak bola?
HAK KOMERSIAL DAN HAK FEDERATIF
Pemahaman yang perlu ditekankan di awal adalah, investor TPO mendapatkan untung dari hak komersial pemain. Hak komersial pemain tak akan bisa didapatkan jika klub tidak mendapatkan hak federatif (federative rights) dari operator liga. Poin-poin inilah yang harus kita pahami terlebih dahulu.
Hak federatif merupakan hak bagi suatu klub sepakbola untuk mendaftarkan pemain berdasarkan kontrak kerja ke operator liga dan federasi. Hak federatif ini mencakup kebebasan yang diberikan operator suatu liga untuk mempersilahkan pemain tersebut berkompetisi dalam kompetisi resmi. Hal ini juga termasuk perpindahan pemain dari satu klub ke klub lain. Dari hak federatif inilah yang kemudian menghasilkan nilai ekonomi yang berbentuk ‘nilai transfer’.
Hal seperti ini membuat TPO tidak bisa berdiri mandiri, mereka harus melekat pada suatu klub. Pihak TPO tidak bisa melakukan kesepakatan dan menjual pemain dengan sesuka hati. Investor TPO harus mendapat dukungan klub untuk mendaftarkan pemainnya ke operator liga. Hal ini dilakukan agar kedua kubu mencapai keuntungan yang disepakati. Tentu saja salah satu tujuan kesepakatan itu agar investor mendapatkan keuntungan yang lebih.
Investor TPO yang bisa merupakan perusahaan, agensi atau manajemen pemain ini memiliki kontrak personal dengan pemain. Para investor ini mampu mengambil hak ekonomi bahkan sampai hak federatif untuk medapatkan hasil berkali-kali lipat saat pemain tersebut nantinya dijual oleh klub. Bukankah hal ini merupakan suatu kengerian, saat pemain sepak bola saat ini layakanya barang yang diperjualbelikan?
Mari kita ambil contoh dalam kasus Marcos Rojo yang dijual oleh Sporting Lisbon ke Manchester united. Penampilan Rojo yang gemilang di Piala Dunia 2014 melambungkan namanaya sehingga membuat Setan Merah merekrutnya. Sempat terjadi polemik dalam transfer ini. Mahar sebesar 16 juta Pound dikeluarkan Setan Merah untuk mengangkut Rojo ke Old Trafford.
Hal ini dilontarkan oleh Presiden Sporting Lisbos, Bruno De Carvalho. Menurut De Carvalho, transfer ini tidak sah, karena pihak Doyen tidak berdiskusi dengan klub, lalu menawarkan pemain ke kubu Manchester United. “Salah satu peraturan adalah investasi tidak bisa tidak melibatkan manajemen dan tidak memanipulasi manajemen, namun para investor ini (Doyen Sports) melakukannya. Kontrak ini merupakan suatu manipulasi dan hal ini tidak sah,” ujar Bruno.
Dalam Transfer ini sendiri pihak Sporting Lisbon hanya mendapatkan 4 juta Pound dari hasil penjualan Rojo ke Manchester United.
baca juga : kelamnya sepakbola : TPO part 1
MODEL-MODEL TPO
Berkembangnya sepak bola sebagai bisnis yang menggiurkan, serta sisi komersil yang mampu mengeruk keuntungan juga membuat TPO pun berkembang sendirinya. Hingga data ini saya kumpulkan, paling tidak ada tiga model TPO yang popular dilakukan hingga saat ini.
Pada model pertama, pencari bakat atau promotor pemain mempromosikan pemain-pemain usia muda ke klub-klub. Jika nantinya pemain tersebut berhasil dijual ke klub, pencari bakat atau promotor akan mendapatkan jatah 10 hingga 20 persen dari hak ekonomi pemain.
Model kedua, klub dan investor biasanya memiliki kesepkatan dalam urusan kepemilikan pemain secara bersama. Dengan begitu, hak ekonomi sang pemain akan dibagi dua. 50 persen milik klub, dan 50 persen milik investor.
Model terakhir adalah ketika investor yang memiliki dana melimpah mengambil alih 100 persen hak ekonomi sang pemain. Model semacam ini biasanya terjadi pada klub yang membutuhkan dana banyak, dan ingin meboyong pemain pemain berkualitas.
Dari ketiga model inilah hingga sekarang TPO masih berkembang. Hal ini juga menjadi sisi kelam sepak bola, bagaimana pemain sepakbola tidak memiliki hak atas dirinya sendiri dan sejauh mana ia memiliki nilai di pasar transfer. Hebatnya hal mengerikan ini kadang dibalut dengan sisi glamor dan hal lain yang seakan membungkus kebusukan praktik ini.
baca juga : Sejarah berdarah Escobar
TARIAN PERBUDAKAN SEPAK BOLA
Sebagai penutup tulisan ini, ada suatu tulisan menarik dari buku Ed Hawkins berjudul ‘The Lost Boys: Inside Football Trade’. Akan saya berikan beberapa kutipan menarik yang mungkin dapat membuka mata kita sebagai penikmat sepakbola.
“Perbudakan, bagaimanapun, akan terus berlanjut. Setiap tahun akhirnya banyak pesepak bola muda berkeliaran di sudut jalan kota London, Paris hingga Madrid. Sementara air mata mereka bercucuran, gelontoran uang terus masuk ke kantong agen-agen nakal.
[…]
Klub terkena imbas. Mulai dari yang memiliki sejarah besar, seperti Barcelona atau Real Madrid, serta klub lainnya. Mereka menjadi sorotan. Qatar si pemilik modal baru dalam dunia sepak bola, juga dipertanyakan. Mengapa negara tersebut sangat terobsesi dengan sepak bola? Membeli anak berusia 13 tahun dari keluarganya dan menempatkan sang anak di akademi mereka. Apakah mereka sedang membangun tim hebat untuk bersaing di Piala Dunia 2022.
Klub Inggris juga tidak kebal dari masalah. Bagaimana mereka bisa lalai lalu kemudian ikut campur dalam perdagangan ini? [..] Banyak anak muda yang memiliki mimpi, namun tentu saja mereka tidak mampu meraihnya.
baca juga : Muka murung si raja gol
Sumber : berbagai sumber
Foto : berbagai sumber
Karya yang dimuat ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi isports.id.