BANYAK PIHAK YANG MENYEBUTKAN BAHWA SEPAK BOLA MERUPAKAN ENTITAS YANG DITERAPKAN KE DALAM OLAHRAGA. BANYAK JUGA YANG BERPIKIR BAHWA SEPAK BOLA MERUPAKAN WUJUD KESENANGAN, DAN TANPA TEKANAN. TERKADANG SENSASI KEGEMBIRAAN ATAU KESEDIHAN SULIT DIPISAHKAN. NAMUN MOMEN INILAH YANG MENJADIKAN SEPAK BOLA SULIT DILUPAKAN. HAL INI DAPAT KITA RASAKAN KETIKA BERDIRI DI SISI PALING TERANG DALAM SEPAK BOLA
iSports.id – Seperti hukum alam, ketika ada sesuatu yang bersinar, maka di satu sisi ada bagian yang gelap. Merunut kepada teori Isaac Newton mengenai cahaya, si jenius ini menjelaskan bahwa cahaya akan bergerak lurus seperti peluru, namun bisa berbelok ketika menggunakan cahaya sebagai partikel. Dalam pembelokannya inilah terdapat bagian yang tidak terkena cahaya yang dapat kita sebut sebagai bayangan.
Bayangan merupakan bagian gelap di belakang objek cahaya yang terus mengikuti kemana saja cahaya itu membias. Dalam sepak bola yang begitu terang, ternyata begitu banyak bayangan-bayangan gelap yang sebenarnya menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan.
Kelamnya sepak bola muncul dari sifat kompulsif negatif manusia. Sifat ini dapat berarti serakah, mau menang sendiri, kecanduan, dan sikap curang. Dari sikap-sikap ini muncullah beberapa hal yang menjadi bagian hitam pekat sepak bola.
baca juga : Sejarah berdarah Escobar
PERBUDAKAN MODERN
Dalam sebuah wawancara, Michael Platini (legenda sepak bola Prancis) pernah menyatakan bahwa sepak bola modern tidak ubahnya sebuah perbudakan.
“Saat ini kita sedang menghadapi perbudakan manusia dengan cara modern” – Michael Platini
Melanjutkan pernyataannya mantan presiden UEFA tersebut menyebutkan, “kita dapat menyaksikan beberapa hal memprihatinkan di sepak bola saat ini. Seorang pesepakbola bisa dimiliki tiga pihak sekaligus. Tangannya dimiliki pihak A, sementara kakinya menjadi milik perusahaan dana pensiun.”
Berangkat dari hal inilah sebuah potret gelap dapat kita ambil, yaitu kepemilikan pihak ketiga (Third Party Ownership).
Permasalahan ini sempat tenggelam lama, hingga akhirnya muncul kembali ke permukaan ketika Sam Allardyce tersangkut skandal dan membuatnya kehilangan jabatan sebagai pelatih Timnas Inggris. Skandal Big Sam (julukan Sam Allardyce) terungkap setelah The telegraph mengungkapkan praktik ilegal yang sudah dilarang FA sejak tahun 2008/09. Jurnalis Telegraph yang kala itu menyamar sebagai pebisnis asal Timur Tengah menghubungi Allrdyce untuk mengakomodasi transfer pemain.
Tawaran disambut Big Sam, yang menyetujui permintaan tersebut asal mendapat ‘jasa transaksi’ 400 ribu poundsterling. Kepada sang jurnalis, Allrdyce juga mengaku sudah terbiasa menjalani bisnis ilegal ini. Hal inilah yang kemudian mencoreng nama FA kala itu.
Kasus Big Sam bukanlah yang pertama. Jauh sebelumnya kasus TPO dalam dunia sepak bola marak terjadi di klub-klub yang tidak dapat membeli pemain dengan banderol harga besar. Minimnya dana, namun besarnya tujuan prestasi membuat klub akan meminta bantuan kepada perusahaan atau bahkan perseorangan di luar sepak bola.
Namun setelah dibantu mendatangkan sang pemain, klub tersebut tidak bisa memiliki hak penuh, karena biasanya sang pihak ketiga meminta sebagian atau malah penuh dari nilai ekonomi sang pemain.
Bagi klub yang menggunakan TPO, keuntungan yang mereka dapatkan adalah mereka bisa mendapatkan dana segar dari penjualan pemain tanpa mengeluarkan kocek besar, upah yang murah, serta kadang tidak perlu menanggung biaya hidup sang pemain. Biasanya hal ini juga bergantung dari kesepakatan antara klub dan pihak ketiga.
baca juga : Paradinha dan Keunikan penalti Jorginho
ILUSTRASI SEDERHANA TPO
Agak rumit memang menjelaskan alur transfer dari TPO, namun dalam artikel ini akan kita lebih sederhanakan. Mari kita buat ilustrasi sederhana. Ada klub A yang memiliki 100 persen kepemilikan pemain Z. Kemudian ada klub B yang ingin membeli pemain Z. Namun, karena tidak dapat membayar seluruh biaya transfer yang diajukan klub A, maka klub B menggunakan pihak ketiga.
Pihak tersebut yang biasanya memiliki dana super melimpah. Dia kemudian membeli seluruh hak ekonomi pemain Z dari klub A dengan bertujuan dimainkan di klub B. Setelah itu klub B akan membeli pemain dari pihak ketiga dengan setengah harga dari biaya transfer (atau sesuai kesepakatan bersama).
Klub dan pihak ketiga dalam hal ini memiliki 50 persen dari hak ekonomi pemain Z. Ketika nantinya sang pemain Z berkembang menjadi lebih matang dan memiliki nilai jual lebih, maka si pihak ketiga akan mencari atau menerima tawaran klub lain untuk pemain Z.
Pemain Z kemudian akan dibeli oleh klub C yang bersedia membayar penuh hak ekonomi pemain Z bersama klub B. Dalam hal ini pihak ketiga akan mendapatkan keuntungan dari upah (tergantung kesepakatan) dari biaya transfer.
baca juga : jangan salah kaprah soal handball
LAHIR DARI ATURAN BOSSMAN RULES
Para penggemar game sepak bola Football Manager biasanya sudah akrab dengan istilah Bossman Rules. Istilah ini muncul di tahun 1995, dengan Bossman sebagai pencetusnya. Dalam peraturan Bossman Rules setiap pemain memiliki hak untuk melakukan pembicaraan dengan pihak lain 6 bulan sebelum masa kontraknya habis dengan pihak klub.
Pada kasus Bacary Sagna dan Aaron Ramsey yang pindah dari Arsenal ke Manchester City dan Juventus secara gratis. Meriam London tidak menerima uang sepeserpun dari kepindahan sang pemain. Aturan Bossman Rules inilah yang seakan membuat pemain tidak harus sepenuhnya tunduk dengan klub. Pemain mampu menentukan kemanakah ia selanjutnya melanjutkan karier sepak bolanya.
Ahli hukum bidang Olahraga asal Argentina, Ariel Reck, menjelaskan paktik TPO ini hadir setelah Bossman Rules terbentuk. Atas dasar aturan inilah yang memberikan perspektif baru bagi klub untuk tidak memiliki kekuasaan penuh atas pemain. Bossman Rules menginspirasikan TPO bagaimana klub sepakbola tidak lagi bisa mengekang pemain meski kontraknya belum habis.
Amerika Selatan merupakan tempat TPO lahir dan tumbuh berkembang. Sumber daya manusia dalam sepak bola yang melimpah ruah menjadi sasaran empuk TPO. Salah satu negara yang menjadi pelopor adanya praktik TPO adalah Brasil. Negeri berpenduduk hampir mencapai 200 juta tersebut menjadi penganut TPO. Bahkan saking dianggap legal, pemerintah seakan tutup mata atas praktik TPO di Brasil.
Efek TPO yang hampir mirip dengan narkotik ini sangat merusak klub dalam membuat fondasi keuangan. Namun atas efek samping ini pulalah yang membuat TPO semakin berkembang.
TPO sudah menjadi hal yang dilarang di Liga Prancis, Liga Belgia, dan Liga Inggris. Bahkan dicela sejak 2008 oleh FA, kemudian di susul oleh FIFA pada tahun 2015. Namun di sisi lain TPO nyatanya berkembang secara masif di liga Eropa timur semisal Liga Portugal, bahkan La Liga.
*bersambung ke Part II
Sumber : berbagai sumber
Foto : berbagai sumber
Karya yang dimuat ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi isports.id.